Ketika Sorotan Melebar: Pep Guardiola dan Drama Tak Terucap soal Jack Grealish
Di Craven Cottage yang berselimut sorak, Manchester City baru saja mengunci tiket Liga Champions usai menundukkan Fulham 2-0. Namun, kemenangan itu bukan satu-satunya topik panas. Ada satu absensi yang membuat ruang jumpa pers mendadak jadi arena adu tanya yang gerah: Jack Grealish tak masuk skuad LGOACE.
Pemain bernomor punggung 10 itu absen dari laga pamungkas Premier League musim ini. Dan ketidakhadirannya seolah menyulut api kecil yang telah lama mengendap di pojok ruang tak terlihat — soal masa depan Grealish di Etihad yang belakangan semakin kabur.
Guardiola: “Siapa Bilang Saya Tidak Senang Sama Jack?”
Pep Guardiola, sang maestro di pinggir lapangan, bukan sosok yang mudah terguncang. Tapi sore itu, nada bicaranya mengeras. Tidak marah, tapi terasa—seperti nada cello yang tiba-tiba meninggi di tengah alunan klasik.
“Jangan tanya saya soal Jack. Siapa bilang saya tidak senang sama Jack?” katanya, dengan suara yang lebih berat dari biasanya.
Pertanyaan yang terus dilontarkan jurnalis soal minimnya menit bermain Jack musim ini rupanya mulai mengikis kesabaran sang pelatih. Bukan soal absennya semata. Tapi kesan bahwa Grealish seakan sedang ‘didiamkan’. Padahal, Guardiola justru merasa telah menjadi pembela utama sang pemain.
“Saya yang membawa Jack ke sini. Saya pula yang ingin dia tetap di sini, musim ini dan musim depan. Saya yang bilang, ‘Saya ingin Jack Grealish,’” katanya lantang.
Strategi atau Sentimen?
Musim ini, Jack Grealish hanya menjadi starter sebanyak tujuh kali di Premier League. Angka yang tentu jauh dari ekspektasi untuk seorang pemain yang diboyong dengan harga fantastis dari Aston Villa pada 2021. Tapi bagi Guardiola, ini bukan persoalan preferensi personal.
“Rico Lewis tidak dimainkan hari ini. McAtee tampil luar biasa melawan Aston Villa dan Wolves. Kenapa tak ada yang tanya saya soal McAtee?” lanjutnya, memberi contoh bahwa rotasi adalah bagian dari sistem.
Pernyataannya menyimpan satu ironi: publik ingin drama, Guardiola menawarkan strategi. Publik ingin konflik, Guardiola bicara konteks. Dalam satu kalimat, ia mendobrak anggapan bahwa Grealish disingkirkan. Dalam kalimat berikutnya, ia menegaskan bahwa masa depan bukan berada di tangannya semata.
Masa Depan Ada di Tangan Orang Lain
Guardiola mengingatkan, urusan kontrak dan transfer bukan semata ditentukan olehnya. Ia menyebut nama-nama di balik layar: Txiki Begiristain, direktur olahraga, dan Hugo Viana, agen. Sebuah pengalihan halus yang mengindikasikan bahwa panggung berikutnya bisa jadi tidak lagi melibatkan dirinya secara penuh.
“Apa yang terjadi di masa depan, itu urusan Txiki, Hugo, dan agen,” ujarnya.
Ucapan yang terdengar seperti lemparan ringan, namun punya bobot. Seolah dia ingin berkata: “Saya sudah berperan, sisanya terserah sistem.”
Grealish: Korban Ekspektasi atau Strategi?
Pertanyaan besar tetap menggantung di udara. Apakah Jack Grealish hanyalah korban sistem permainan Guardiola yang dinamis? Atau memang ada sesuatu yang tak tersampaikan di balik layar?
Dengan usia 29 tahun, Grealish masih berada di fase emas kariernya. Namun jika terus berada di bangku cadangan, bayang-bayang tim lain bisa saja mulai menggoda. Dunia sepakbola tak pernah diam, dan seperti daun musim gugur, tak semua yang jatuh berarti buruk—bisa jadi itu awal dari musim baru.
Kesimpulan: Antara Rasa dan Realita
Apa yang terjadi antara Guardiola dan Grealish, barangkali hanya mereka yang tahu secara utuh. Tapi satu hal pasti, dalam sepak bola, kata ‘tidak dimainkan’ bisa bermakna banyak. Bisa soal taktik. Bisa soal kondisi. Bisa juga soal masa depan yang sedang dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Dan bagi seorang manajer sekelas Guardiola, tak semua keputusan harus dijelaskan. Karena kadang, di balik rotasi pemain, tersimpan skenario besar yang tak semua mata bisa lihat—hingga akhirnya waktu yang membocorkannya.