Arteta Bicara Realitas: Jika Tak Bisa Jadi yang Pertama, Jadilah yang Terbaik dari Sisanya
Musim telah usai. Stadion meredup, sorak sorai berganti sunyi. Di balik kegembiraan juara, terselip kisah tentang upaya, luka, dan kenyataan yang tak selalu berpihak. Arsenal, untuk ketiga kalinya secara beruntun, harus puas finis di posisi kedua Premier League musim 2024/2025. Harapan yang dibangun tinggi sejak awal musim kembali berakhir sebagai bayang-bayang di belakang kejayaan tim lain LGOACE.
Tiga tahun berturut-turut menjadi runner-up bukan angka biasa. Tapi seperti pelari maraton yang nyaris mencapai garis akhir, tetap saja belum cukup untuk mengangkat trofi yang dirindukan.
Statistik Tak Pernah Bohong, Tapi Juga Tak Memberi Maaf
Arsenal menutup musim dengan 74 poin. Sebuah pencapaian yang tak buruk, namun tetap kurang cukup untuk mengejar Liverpool yang menjadi kampiun dengan 84 poin. Kedua tim sama-sama merasakan pahitnya kekalahan empat kali, tapi yang membedakan adalah hasil imbang. The Gunners mencatat 14 kali imbang — terlalu banyak dalam kompetisi yang ketat. Sementara Liverpool hanya lima kali ditahan lawan.
“Ya, jika tidak bisa menjadi yang terbaik, jadilah yang terbaik dari sisanya,” ujar Mikel Arteta usai timnya mengalahkan Southampton di laga penutup musim.
Pernyataan yang sederhana tapi menyimpan filosofi besar. Bukan sekadar pembelaan, melainkan pengakuan. Tentang realitas. Tentang betapa tipisnya jarak antara sukses dan hampir sukses.
Konsistensi: Kata yang Mudah Diucap, Tapi Berat Ditegakkan
Masalah Arsenal bukan pada kualitas. Bukan pula pada semangat. Tapi pada konsistensi. Ada kalanya mereka bermain seolah tak terhentikan — tajam, cair, penuh strategi. Tapi terlalu sering pula mereka terpeleset pada momen-momen krusial. Kemenangan yang sudah di depan mata, lenyap karena satu kesalahan kecil. Dan dalam liga seperti Premier League, satu kesalahan bisa jadi perbedaan antara juara dan pelengkap.
Arteta pun menyadari hal itu.
“Saya sudah mengatakannya berkali-kali. Sulit untuk melakukannya tiga tahun berturut-turut jika Anda melihat jumlah poin yang kami miliki dalam tiga tahun terakhir,” ujarnya.
Kalimat itu bukan hanya refleksi, tapi juga sindiran halus pada ekspektasi publik yang tak pernah berhenti menuntut.
Menghargai Proses, Bukan Menyerah pada Hasil
Di balik kekecewaan, ada kebanggaan yang tetap layak dirayakan. Membangun tim bukan soal semusim atau dua musim. Ini soal fondasi, soal arah, soal keberanian untuk bertahan di tengah badai kritik. Arsenal di bawah Arteta telah berevolusi, dari tim penuh potensi menjadi penantang gelar yang sah.
“Kami perlu menghargai itu, dan dari sana kami dapat membangun apa pun yang kami inginkan, tetapi memahami apa yang telah membawa kami sejauh ini,” sambung Arteta.
Pernyataan yang menyiratkan bahwa musim ini bukan akhir dari segalanya, melainkan jembatan menuju sesuatu yang lebih besar.
Mental Juara Tak Selalu Harus Berakhir Juara
Ironi dari sepak bola adalah ini: kadang mereka yang punya semangat juara justru bukan yang mengangkat trofi, tapi yang terus berusaha meski gagal. Arsenal mungkin belum juara, tapi mereka belajar. Mereka tumbuh. Mereka menolak untuk tenggelam dalam kegagalan.
Dan publik pun mulai memahami, bahwa kesuksesan bukan hanya soal piala, tapi tentang perjalanan yang dilalui untuk meraihnya. Dalam diam, dalam kerja keras, dalam luka yang ditutupi senyum.
Apa Selanjutnya untuk Arsenal dan Arteta?
Musim depan, tantangan akan semakin berat. Rival akan bersiap. Tekanan akan kembali menyesakkan dada. Tapi satu hal yang tak boleh hilang adalah kepercayaan — pada proses, pada strategi, dan pada pelatih muda yang telah membawa klub ini kembali relevan di puncak persaingan.
Bagi Arteta, mungkin belum saatnya menulis kisah pemenang. Tapi ia sedang menulis kisah tentang keteguhan hati. Tentang bagaimana jadi yang kedua bukanlah aib, tapi titik awal untuk melompat lebih tinggi.
Kesimpulan: Arsenal Belum Juara, Tapi Jelas Belum Kalah
Menjadi runner-up tiga kali beruntun memang menyakitkan. Tapi jika perjalanan ini adalah anak tangga menuju mahkota, maka setiap musim yang terlewati bukan kegagalan, melainkan pondasi. Arsenal bukan tim biasa — mereka adalah simbol dari harapan yang tak pernah padam, bahkan saat cahaya juara belum berpihak.
Dan Arteta? Ia bukan hanya pelatih. Ia adalah arsitek dari mimpi yang belum selesai.